Setiap
 tahun, selalu umat Islam kisruh mendiskusikan masalah perayaan natal 
dalam pandangan Islam. Fatwa MUI tentang haramnya merayakan natal 
bersama selalu menjadi perbincangan hangat di mana-mana. Ada yang 
mendukung, ada pula yang menyangkal. Masing-masing memiliki argumentasi 
sendiri-sendiri. Bagaimana sebetulnya pandangan Islam mengenai masalah 
ini?
 
 Sebelum diskusi mengenai masalah ini dilanjutkan, ada 
baiknya semua pihak menyadari tentang beberapa hal. Pertama, tidak ada 
satu teks atau dalil-pun, baik dalam Qur’an atau hadis, yang dengan 
gamblang melarang atau mendorong umat Islam mengucapkan selamat Natal 
atau ikut dalam perayaan Natal. Kalau pun ada dalil Qur’an atau hadis 
yang dikutip oleh sejumlah pihak, maka dalil itu sifatnya umum, bukan 
dalil khusus yang secara jelas berkaitan dengan masalah ini. Pada zaman 
Nabi, masalah ucapan selamat Natal ini belum muncul. Kedua, baik fatwa 
MUI yang melarang ucapan selamat Natal atau ikut dalam perayaan Natal, 
atau pandangan sarjana Islam lain yang membolehkan hal itu, adalah 
sekedar pendapat. Sebagai sebuah pendapat, ia bukanlah sesuatu yang 
mutlak benar ataupun mutlak salah. Oleh karena itu, percekcokan antara 
umat Islam gara-gara masalah yang sebetulnya sepele ini sama sekali 
kurang perlu. Perbedaan pendapat haruslah dipuji sebagai berkah yang 
mesti disyukuri. Masing-masing pihak sudah semestinya saling 
menghormati.
 
 Sejumlah argumen tentang bolehnya mengucapkan selamat Natal
 
 Tanpa mengurangi penghargaan pada mereka yang melarang umat Islam 
mengucapkan selamat Natal kepada saudara-saudara kita yang beragama 
Kristen, saya cenderung kepada pendapat yang membolehkannya. Berikut ini
 adalah sejumlah argumen yang bisa saya kemukakan:
 
 (1) 
Sebagaimana sudah saya sebut di atas, tidak ada dalil atau teks satupun 
dalam Qur’an atau hadis yang dengan jelas-jelas melarang atau 
menganjurkan umat Islam mengucapkan selamat Natal atau ikut perayaan 
Natal. Dalil-dalil yang dikutip oleh mereka yang melarang hal ini 
hanyalah dalil yang bersifat umum, bukan dalil sharih, atau petunjuk 
yang jelas. Karena tak ada larangan atau perintah dari agama, maka 
status masalah ini kembali kepada keadaan semula yang dalam hukum Islam 
(fiqh) disebut dengan dalil “al-bara’ah al-asliyyah“. Maksudnya, sebelum
 tuntunan agama datang, segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan, 
terutama yang berkenaan dengan hal-hal di luar masalah ritual murni atau
 ibadah mahdhah. Dengan demikian, masalah ucapan Natal ini seharusnya 
kita kembalikan kepada keadaan semula, yaitu jawaz atau boleh-boleh 
saja. Contoh yang mudah adalah soal pemilu. Dalam Qur’an atau hadis tak 
ada dalil satupun yang melarang atau memerintahkan pemilihan umum untuk 
memilih seorang pemimpin. Karena itu, hukum pemilu adalah mubah, jawaz, 
alias boleh-boleh saja.
 
 (2) Walaupun tidak ada dalil yang 
secara jelas membolehkan atau melarang ucapan Natal, ada sebuah ayat 
dalam Qur’an yang secara tak langsung bisa dipahami sebagai petunjuk 
tentang bolehnya ucapan Selamat Natal ini. Sekali lagi, dalil berikut 
ini bukanlah dalil sharih, tetapi dalil yang bersifat umum. Yaitu sebuah
 ayat dalam Surah Maryam, “wa al-salamu ‘alayya yauma wulidtu wa yauma 
amutu wa yauma ub’athu hayya”. Arti ayat itu, dan keselamatan tertuju 
padaku (maksudnya Nabi Isa atau Yesus) saat aku dilahirkan, saat aku 
meninggal, dan saat aku dibangkitkan lagi dalam keadaan hidup-hidup.
 
 Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib karangan Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209 M)
 dikatakan bahwa pengertian “al-salam” dalam ayat itu adalah bahwa Nabi 
Isa selamat atau diselamatkan dari tuduhan orang-orang pada zaman itu 
bahwa ia lahir dari hubungan nikah yang tak sah, alias zina. Sebagaimana
 kita tahu, Islam sepakat dengan Kristen mengenai “immaculation” atau 
kesucian dan keperawanan Maryam (Maria); maksudnya, kelahiran Yesus 
tidaklah terjadi karena hubungan laki-perempuan, tetapi kelahiran yang 
suci melalaui perantaraan malaikat. Karena Maria mengandung Nabi Isa 
tanpa melalui hubungan suami-isteri, ia dituduh oleh orang-orang pada 
zamannya sebagai melakukan zina. Ayat di atas menjelaskan bahwa tuduhan 
itu tak benar, dan karena itu Nabi Isa selamat dari tuduhan tersebut 
(al-salamu ‘alayya).
 
 Ayat ini tidak bisa secara langsung 
dipahami sebagai perintah atau anjuran mengucapkan selamat Natal, tetapi
 secara implisit bisa dipakai sebagai argumen pendukung. Sesuai dengan 
makna implisit ayat itu, dan mengikuti penafsiran al-Razi, umat Islam 
boleh mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen, terutama manakala 
mereka, dengan ucapan itu, berniat untuk membersihkan Maryam dan Nabi 
Isa dari tuduhan kotor seperti disinggung di atas. Dengan niat semacam 
itu, umat Islam bukannya berdosa karena mengucapkan selamat Natal, malah
 mendapatkan pahala.
 
 Ayat di atas perlu mendapatkan perhatian 
yang sedikit lebih dalam dari kita karena mengungkapkan suatu pemahaman 
mengenai figur Nabi Isa yang paralel dengan kepercayaan yang ada dalam 
agama Kristen. Ayat itu menjelaskan bahwa Nabi Isa lahir, kemudian 
meninggal, dan bangkit kembali. Memang dalam ayat itu tak ada keterangan
 apakah Nabi Isa bangkit di hari ketiga seperti diimani oleh umat 
Kristen. Namun demikian, kerangka besar pemahaman Islam dan Kristen 
mengenai figur Yesus untuk sebagian besar sejajar: Yesus lahir, 
meninggal dan bangkit lagi. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis, 
Nabi Isa akan kembali ke dunia pada akhir zaman. Lagi-lagi, kepercayaan 
tentang kedatangan kedua Yesus ini paralel dengan kepercayaan yang ada 
dalam Kristen. Umat Islam selama ini terlalu terpaku pada perbedaan 
antara kedua agama itu, tetapi lupa adanya kesejajaran semacam ini.
 
 Sekali lagi, tentu benar bahwa ada perbedaan yang mendasar antara 
akidah Islam mengenai Nabi Isa atau Yesus dengan iman Kristen. Salah 
satu perbedaan mendasar itu adalah bahwa Islam menolak pandangan 
mengenai keilahian Yesus. Ini sudah menjadi pengetahuan umum. Dalam hal 
ini, umat Islam dan Kristen bisa “agree to disagree” atau sepakat untuk 
tak sepakat. Namun, baik umat Islam atau Kristen tak boleh melupakan 
bahwa ada kesejajaran doktrinal antara kedua agama itu berkenaan dengan 
figur Yesus.
 
 Karena kemiripan dan kesejajaran doktrin semacam 
ini, tak ada alasan sama sekali untuk khawatir bahwa mengucapkan selamat
 Natal akan membahayakan akidah umat Islam. Inilah yang akan saya 
jelaskan dalam poin ketiga di bawah ini.
 
 (3) Salah satu alasan 
mereka yang melarang ucapan selamat Natal adalah kekhawatiran bahwa 
tindakan itu akan mengacaukan akidah umat Islam. Lebih jauh lagi ada 
yang khawatir bahwa dengan mengucapkan selamat Natal, umat Islam secara 
diam-diam atau implisit menyetujui agama Kristen.
 
 Tentu 
kekhawatiran semacam ini patut kita hormati, karena menunjukkan adanya 
“ghirah” atau kecemburuan dan loyalitas pada akidah Islam. Jika betul 
bahwa seseorang akan langsung goyah imannya gara-gara mengucapkan 
selamat Natal, maka memang sebaiknya orang tersebut menghindari ucapan 
itu. Meskipun dalam hal ini kita bisa mengajukan pertanyaan dan 
sekaligus rasa hairan: Bagaimana mungkin seseorang goyah imannya hanya 
karena ucapan Natal? Jika benar terjadi, betapa lemahnya iman orang itu?
 Ataukah ketakutan para tokoh Islam seperti di MUI itu hanya “fantasi” 
di siang bolong saja yang tak ada buktinya? Jangan-jangan MUI keliru 
dalam menilai kekuatan iman umat Islam? Jangan-jangan iman umat Islam 
tak serapuh dan sekeropos yang dikira oleh para “pejabat” MUI?
 
 
Ala kulli hal (artinya kira-kira “anyway”), kekhawatiran semacam itu, 
menurut saya, terlalu berlebihan. Kekhawatiran semacam ini, dalam 
pandangan saya, lebih cenderung dibuat-buat ketimbang sesuatu yang 
faktual. Sebaiknya kita mendidik umat Islam untuk dewasa dalam beragama,
 dan tak usah terlalu khawatir dengan agama lain, seolah-olah agama lain
 adalah “najis”. Sebagaimana sudah saya tunjukkan, ada kesamaan antara 
Islam dan Kristen dalam memandang figur Yesus, sebagaimana juga ada 
perbedaan. Sekurang-kurangnya, ucapan selamat Natal yang keluar dari 
mulut seorang Muslim menandakan bahwa dia mengafirmasi adanya hubungan 
persaudaraan dan kemiripan doktrinal antara kedua agama warisan dari 
Nabi Ibrahim itu. Soal perbedaan biarlah itu menjadi soal pribadi dan 
“urusan dapur” kedua agama tersebut.
 
 Lebih dari itu, bukankah 
dalam Qur’an dinyatakan dengan jelas bahwa Tuhan menciptakan manusia 
bersuku-suku, berpuak-puak, agar mereka saling mengenal? Dengan kata 
lain, dialog antarbudaya dan antaragama adalah tindakah yang dipujikan 
dalam Qur’an. Ucapan selamat Natal menandakan bahwa umat Islam mempunyai
 “willingness“, isti’dadiyyah, atau kesediaan untuk melakukan dialog 
itu.
 
 Jika umat Kristen dengan senang hati mengucapkan Selamat 
Hari Raya Idul Fitri kepada umat Islam tanpa ketakutan akan roboh 
imannya, bagaimana pula umat Islam ketakutan mengucapkan selamat Natal? 
Apakah bobot iman umat Islam lebih rapuh ketimbang umat Kristen?
 
 Bagaimana dengan ikut dalam perayaan Natal? Apakah hal itu diperbolehkan dalam Islam?
 
 Sekali lagi, dalam Islam tidak ada dalil sharih yang mencegah atau 
mengharuskan umat Islam untuk ikut perayaan Natal. Oleh karena itu, 
status perkara ini lagi-lagi harus dikembalikan kepada hukum asal, yaitu
 jawaz atau kebolehan. Di sini harus dikatakan dengan jelas, bahwa yang 
menjadi diskusi adalah soal ikut perayaan Natal, bukan ikut ibadah 
Natal. Perbedaan ini penting ditegaskan karena dalam setiap upacara hari
 raya suatu agama selalu terdapat dua aspek yang berbeda. Aspek pertama 
adalah aspek ritual dan peribadatan. Aspek kedua adalah aspek 
sosial-kultural. Idul Fitri, misalnya, adalah hari raya umat Islam yang 
mengandung dua apsek: aspek ritual dalam bentuk salat Ied dan aspek 
sosial-kultural dalam bentuk acara halal-bihalal atau saling berkunjung.
 Begitu pula dalam masalah Natal. Umat Islam tentu tak diperbolehkan 
ikut dalam ibadah Natal di gereja. Tetapi mereka tentu boleh saja ikut 
dalam perayaan Natal yang sifatnya sosial-kultural seperti acara 
halal-bihalal itu. Ini adalah bagian dari mu’amalah bain al-nas, atau 
pergaulan antarmanusia. Dalam pergaulan itu, Islam mengenal haqq 
al-jiwar, atau hak bertetangga.
 
 Umat Islam diperintahkan untuk 
berbuat baik kepada tetangga mereka, tak peduli apapun agama mereka. 
Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda “Man kana yu’minu bi ‘l-Lahi wa 
‘l-yaum al-akhiri fal yukrim jarahu.” Artinya, barangsiapa beriman 
kepada Allah dan hari akhir, maka ia harus memuliakan tetangganya. Tentu
 memuliakan tetangga memiliki makna yang luas, termasuk terlibat dalam 
upacara-upacara sosial-kultural.
 
 Sebagai penutup, umat Islam 
saat ini hidup dalam negara Indonesia yang secara sosial-keagamaan 
sangat pluralistis. Etika kehidupan berbangsa dan bernegara yang 
disepakati oleh semua kelompok dan golongan di negeri ini, sebagaimana 
pula telah diwariskan oleh founding fathers kita, adalah seperti 
tertuang dalam filosofi “bhinneka tunggal ika“, berbeda tetapi tetap 
dalam semangat persatuan. Filosofi ini mengingatkan kita pada falsafah 
yang dianut oleh bangsa Amerika, pluribus unum, beragam tetapi tetap 
satu.
 
 Dalam sinaran filosofi semacam ini, umat Islam sudah 
selayaknya mengembangkan etika sosial yang mendorong terjadinya saling 
pengertian dan pemahaman antaragama. Kesan yang terbaca dari para ulama 
atau penulis Muslim yang biasa mengecam ucapan selamat Natal adalah 
adanya sikap tertutup di sana. Ini sama sekali tak sesuai dengan 
semangat bhinneka tungga ika itu.
 
 Saya yakin, umat Islam sudah 
cukup dewasa dalam beragama, serta cukup kuat imannya. Iman umat Islam 
tak mungkin bisa keropos hanya gara-gara mengucapkan selamat Natal atau 
ikut dalam perayaan Natal. Iman umat Islam justru akan diperkaya dalam 
dialog antarbudaya dan antaragama. Iman yang dewasa hanya bisa tumbuh 
dalam pergaulan yang luas, bukan iman yang dikurung dalam “tempurung”. 
Sebagaimana manusia akan sehat jiwa raganya jika bergaul dan belajar 
dari keragaman dalam masyarakat, begitu pula iman umat Islam akan tumbuh
 dewasa dan sehat wal-afiat jika dikembangkan melalui pergaulan 
antariman.
 
 Demikian pendapat saya. Jika ada yang benar dalam 
pendapat ini, maka itu datangnya dari Allah semata. Jika ada yang salah,
 itu adalah semata-mata karena kelemahan saya sebagai manusia.
 
 Al-haqqu min rabbika fala takunanna min al-mumtarin.
 
 Wa ‘l-Lahu a’lam bi ‘l-shawab.
 
 MINHAJ AL-AQILIN
 Jalan bagi mereka yang mencintai Islam seraya tetap memakai akal sehat
Also Like : artikel,
natal,
natal 2011,
natal dalam pandangan islam
Posted in:  artikel,natal,natal 2011,natal dalam pandangan islam



 






0 Comments:
Post a Comment
leave comment for this article...